#1

achaish
3 min readJun 18, 2020

Hai.

Selamat datang di tulisan pertama saya di platform ini.

Minggu ini entah kenapa rasanya jauh lebih berat dibanding minggu-minggu sebelumnya. Padahal, hari yang dijalani masih seperti biasa. Daerah tempat tinggal saya masih ada pada keadaan social distancing dan saya masih melangsungkan kegiatan pekerjaan di rumah.

Hampir tiga bulan saya tidak keluar kompleks apartemen. Belanja dilakukan secara daring, pekerjaan dilakukan secara daring, bahkan rutinitas pulang ke daerah asal saya tidak bisa saya lakukan. Saya diam di rumah dengan harapan keluarga saya tidak terjangkit virus sialan yang mengubah seluruh organisasi hidup saya.

Kembali, kenapa minggu ini terasa lebih berat dari minggu-minggu sebelumnya. Minggu ini saya kembali dihadapkan pada dilema. Singkatnya, virus ini membuat rencana masa depan saya berantakan dan disini saya masih berusaha menata rencana-rencana tersebut kembali. Karir, kesempatan melanjutkan pendidikan, sampai hubungan dengan keluarga dan teman, semuanya saya coba tata kembali satu persatu. Perlahan, rencana saya mulai terlihat. Perlahan, semuanya terlihat kembali ke rencana awal.

Ternyata, Tuhan masih gemar bercanda. Tiba-tiba, dibalikkan rencana-rencana hampir sempurna saya kembali ke titik awal. Titik awal dimana saya harus kembali menatanya dari nol. Saya kembali menjadi pribadi tanpa masa depan yang hanya mengikuti arus takdir. Hal ini tentunya membuat saya marah.

Saya marah pada lelucon-Nya, tapi juga bertanya-tanya apa yang sebenarnya Ia siapkan di akhir proses ini. Saya adalah orang yang percaya bahwa segalanya akan terjadi di waktu yang tepat. Kalau begitu kenapa saya marah? Karena saya pikir semuanya sudah tepat. Tapi saya selalu lupa kalau itu bukan tempat saya untuk memutuskan.

Saya marah pada keadaan. Kepada virus yang datang ke negara kami dan merusak tatanan hidup banyak orang. Kepada pemerintah yang beritanya selalu saya lihat di televisi dan sosial media tetapi setiap hari sepertinya tidak kunjung memberikan berita baik yang diinginkan semua orang. Kepada orang-orang yang masih ngeyel untuk nongkrong di luar sana, katanya bertemu orang dicinta tapi tidak berpikir bahwa ada orang-orang seperti saya yang menahan diri berbulan-bulan untuk bertemu orang-orang yang saya cinta.

Saya juga marah pada diri saya sendiri. Kenapa tidak segera pulang sejak awal? Kenapa tidak mencari pekerjaan yang pasti sejak awal? Kenapa tidak melanjutkan pendidikan saja sejak awal? Kenapa tidak seperti orang lain yang bisa melakukan segalanya dengan baik? Kenapa? Kenapa?

Stop. Ledakan emosinya berhenti disini.

Saya pikir marah tidak akan mengubah apa-apa. Tapi saya juga tidak bilang kalau marah tidak baik. Saya justru berpikir wajar saya marah dan saya harus membiarkan diri saya marah dulu untuk kemudian paham apa yang membuat saya marah. Kemudian tahu apa yang saya luput perhatikan ketika marah.

Ketika saya marah, saya selalu lupa untuk mengingat sebenarnya apa saja yang saya dapatkan selama berada di sini. Selalu lupa kalau saya ternyata punya banyak waktu untuk istirahat. Selalu lupa kalau dari tidak pulang, orang tua saya kemungkinan sehatnya lebih banyak. Selalu lupa kalau sekarang hubungan saya dengan Tuhan mungkin harus lebih erat. Selalu lupa kalau saya orang yang percaya bahwa semua akan datang pada waktu yang tepat.

Tugas saya sekarang bukan menunjuk ke langit dan menuntut waktu yang tepat. Tapi mungkin saya perlu menunduk lebih rendah untuk tahu tempat.

Tugas saya sekarang bukan berlarut menangis dalam kegelapan. Tapi mungkin bekerja lebih keras untuk tetap bisa makan dan berbagi makanan.

Tugas saya sekarang bukan pasrah dan mengikuti arus. Tetapi mungkin berenang ke tempat lain menuju air yang lebih bagus.

Tulisan ini mengingatkan saya pada sebait potongan puisi dari Soe Hok Gie.

“Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

--

--

achaish

Tempat curhat tipis-tipis. Kadang menahan tangis, kadang meringis terlalu manis. Baca sampai habis.