#5

achaish
2 min readJul 16, 2020
Lotte Shopping Avenue, sebelum pandemi.

Mestakung, semesta mendukung.

Katanya, ketika seseorang sedang berada di keadaan kritis maka partikel-partikel yang ada di sekelilingnya akan bekerja secara serentak untuk mencapai titik ideal.

Kalau menurut saya, semesta punya rencananya sendiri.

Bulan ini saya berencana mengikuti tes masuk perguruan tinggi program magister untuk mengejar mimpi saya. Dari awal, memang perasaan saya kurang enak tentang rencana saya ini.

Mulai dari pandemi yang menghambat saya melakukan serangkaian tes di awal. Saya kala itu bersedih karena ternyata pandemi mengambil kesempatan saya untuk menjemput sebagian mimpi saya tahun ini. Tapi semesta mulai bergerak, saya diberitahu kalau semua rangkaian tes akan dilakukan secara online. Saya buru-buru mendaftar dan melakukan serangkaian tes awal untuk melengkapi persyaratan.

Ternyata hambatan muncul kembali, saya yang sudah siap mengikuti tahapan selanjutnya kembali tidak diizinkan maju. Pekerjaan saya mengharuskan saya melakukan beberapa hal selama 6 minggu ke depan saat itu. Saya jadi tidak bisa bergerak lagi menjemput sebagian mimpi saya.

Saya menghela nafas, mencoba ikhlas, sambil menerima bahwa mimpi saya harus dihempas.

Semesta kembali bergerak, tes saringan masuk perguruan tinggi lain mulai dibuka. Saya yang masih penasaran mencoba kembali mendaftar. Kali ini saya tidak perlu banyak persiapan, hanya perlu beberapa dokumen dan membayar biaya pendaftaran. Saya cocokkan jadwal ujian dengan jadwal pekerjaan, harusnya bisa.

“Bayar biaya pendaftarannya nanti deh,” pikir saya kala itu.

Kembalilah saya pada rutinitas pekerjaan saya. Sambil setiap hari menimbang-nimbang dan menghitung implikasi keputusan saya. Sayangnya, semesta kembali bercanda. Saya ternyata kembali tidak bisa mengikuti rangkaian tes dikarenakan pekerjaan saya. Saya kembali tidak bisa menjemput sebagian mimpi saya.

Saya sudah lelah menyalahkan semesta. Saya juga lelah menyalahkan diri saya. Sudah cukup menyalahkan. Ini waktu saya untuk menerima secara lapang.

Bahwa saya harus kembali menunda mimpi saya.

Bahwa saya harus kembali ke rutinitas saya.

Bahwa saya harus kembali bertanya-tanya apa yang sebenarnya semesta siapkan untuk saya.

Kepercayaan saya akan semesta sekarang seperti benang tipis yang rapuh. Tetapi saya masih berusaha kuat menggenggamnya.

Saya kembali berdoa.

Untuk saya.

Untuk semesta.

Semoga semesta mendukung di hari yang tepat dan hati yang tepat.

Tulisan saya tentang keluhan pada semesta rasanya semakin banyak, saya harus segera mengakhiri ini.

--

--

achaish

Tempat curhat tipis-tipis. Kadang menahan tangis, kadang meringis terlalu manis. Baca sampai habis.